BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Globalisasi adalah suatu fenomena khusus
dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan
merupakan bagian dari proses manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi
komunikasi mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh
seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan
berbangai permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam suatu manfaat
globalisasi untuk kehidupan.
Globalisasi itu sendiri merupakan sebah
istilah yang muncul sekitar dua puluh tahun yang lalu, dan mulai begitu populer
sebagai ideologi baru dalam masyarakat sekitar lima atau sepuluh tahun
terakhir. Sebagai sebuah istilah, globalisasi begitu mudah diterima atau
dikenal masyarakat seluruh dunia.
Wacana globalisasi sebagai sebuah proses
ditandai dengan pesatnya perkembangan ilm u pengetahuan atau teknologi sehingga
ia mampu mengubah dunia secara mendasar. Globalisasi sering diperbincangkan
oleh banyak orang mulai dari pakar ekonomi, sampai penjual iklan. Dalam kata
lain globalisasi mngundang suatu pengertian akan hilangnya dalam suatu
situasidimana sebagai pergerakan barang dan jasa negara diseluruh dunia dapat
dapat bergerak bebas dalam mengikuti perkembangan zaman kontenporer.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa teori
globalisasi?
2.
Apa teori
lingkar sejarah?
3.
Siapa saja
pelopor teori lingkar sejarah?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
teori globalisasi.
2.
Mengetahui teori lingkar sejarah.
3.
Mengetahui
pelopor teori lingkar sejarah.
BAB II
MEMBANDINGKAN HAKIKAT TEORI GLOBALISASI DAN LINGKAR SEJARAH
A.
Pengertian
Globalisasi
Globalisasi satu kata yang mungkin
paling banyak dibicarakan orang selama lima tahun
terakhir ini dengan pemahaman makna yang beragam. Namun, apa yang dipahami
dengan istilah globalisasi akhirnya membawa kesadaran bagi manusia, bahwa semua
penghuni planet ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan begitu saja satu
sama lain walau ada rentang jarak yang secara fisik membentang. Dunia dipandang
sebagai satu kesatuan dimana semua manusia di muka bumi ini terhubung satu sama
lain dalam jaring-jaring kepentingan yang amat luas. Pembicaraan mengenai globalisasi adalah pembicaraan
mengenai topik yang amat luas yang melingkupi aspek mendasar kehidupan manusia
dari budaya, politik, ekonomi dan sosial. Globalisasi di bidang ekonomi
barangkali kini menjadi kerangka acuan dan sekaligus contoh yang saat ini
paling jelas menggambarkan bagaimana sebuah kebijakan global bisa berdampak
pada banyak orang di tingkat lokal, sementara wacana globalisasi dalam hal yang
lain mungkin tidak begitu mudah diamati secara jelas. Kata “globalisasi” diambil dari kata global,
yang maknanya adalah “universal”. Globalisasi belum memiliki defenisi kerja (working defenision), sehingga
tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu
proses social, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa
seluruh bangsa dan Negara di
dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan
menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Globalisasi adalah berkurang atau hilangnya batasan
negara dalam pertukarn sukarel lintas batas dan produksi global yang semakin
terintegerasi. Menurut
defenisi Bank Dunia, globalisasi adalah proses integerasi ekonomi dan
masyarakat melalui arus informasi, ide, aktivitas, teknologi, barang, jasa,
modal dan manusia antarnegara (Stren, 2000). Globalisasi adalah
peruntuhan batas-batas jarak antar bangsa, antar negara dan negara, antara
budaya yang satu dengan yang lain. Dengan demikian manusia akan berhubungan
secara dekat dalam apa yang
disebut dengan budaya gobal, pasar, family global. Sebagian yang lain juga
mengistilahkan bahwa globalisasi adalah menjadikan dunia ini sebagai
desa buasa (global village). Di
sisi lain, ada yang
melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara
adikuasa, sehingga bias saja orang memiliki pandnagn negatif atau curiga
terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme
dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis
akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya
karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar
terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.
a.
Ciri-Ciri
menandakan berkembangnya Globalisasi
Dunia kini mengalami
perubahan-perubahan cepat yang tak dapat diperkirakan dan tak mengenal
batas-batas wilayah. Di satu sisi, hal itu disebabkan pengaruh industrialisasi
yang berkembang pesat. Di sisi lain, karena derasnya arus informasi yang
dikontribusi secara besar-besaran berkat kemajuan teknologi informasi.
Kenyataan itu kemudian berdampak langsung pada berbagai aspek kehidupan, mulai dari persoalan sosial-ekonomi,
politik, kebudayaan, hingga dapat menciptakan budaya ‘koloni baru’
(neokolonialisme) dengan konsep negara-bangsa menjadi bertekuk lutut pada
kekuatan, misalnya, kapitalisme pasar.
Sudah terlalu populer di
masyarakat, lazimnya hal itu dikenal sebagai fenomena globalisasi.
Seperti yang dimaksud Anthony Giddens dalam Runaway World (2001),
globalisasi telah menciptakan sebuah kampung dunia dengan tatanan yang
beroperasi di dalamnya membuat dunia semakin ‘lepas kendali’, kehilangan
kontrol, dan sebagainya. Membuat hubungan tatanan kemanusiaan menjadi begitu
kerdil, persahabatan tak dibatasi dengan sekat-sekat wilayah, berbagai fasilitas hidup yang serba instan membuat manusia semakin
pragmatis, perempuan menggugat hak-hak emansipasinya, nilai-nilai etika-moral
dijungkirbalikkan, dan perubahan sosial (social change) menjadi niscaya, yang
kaya bisa menjadi miskin karena persaingan yang terlalu ketat dan kompetitif,
yang miskin dan sederhana bisa menjadi sebaliknya jika menggunakan
nalar-budi-luhurnya untuk terus bersaing dan berkompetisi.
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.
• Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antarnegara
menunjukkan keterkaitan antarmanusia di seluruh dunia
• Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan
barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet
menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara
melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal
dari budaya yang berbeda.
• Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
• Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
• Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa
(terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olahraga
internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan
pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya
dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
• Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
• Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
B.
Teori Globalisasi
Mengingat Istilah Jhon Naisbit,
sebagaimana terdapat dalam karyanya, Global Paradox, dalam waktu yang
bersamaan sekarang ini kita dihadapan pada beberapa kecenderungan paradoksal.
Dalam bidang budaya, disatu sisi kita menyaksikan munculnya semangat etnis dan
keberagamaan yang kian menguat, tetapi pada sisi lain kita juga menyaksikan
arus ideologi baru yang bercirikan trannasionalisme, globalisme, dan sekularisme.
Pembentukan Pasar Tunggal Eropa, misalnya tidak hanya merupakan gerakan
trannasionalisme ekonomi, tetapi juga berpengaruh langsung pada gerakan budaya
dan agama. Melalui jaringan ekonomi dan politik maka proses akulturasi maupun
konflik antar agama dan budaya ikut berlangsung.
Jika
dilihat dari segi positifnya, era globalisasi ini sesungguhnya merupakan
peluang bagi Islam untuk kembali berperan aktif dalam percaturan dunia,
terutama untuk ikut serta menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Islam memiliki
doktrin, bukan sekadar gagasan, yang jelas dan secara konseptual siap diuji
mengenai isu hak asasi manusia, paham demokrasi, prinsip-prinsip keadilan,
etika bisnis, dan sebagainya yang sementara ini belum dikenal oleh masyarakat
dunia karena dikalahkan oleh isu-isu terorisme dan perang.
Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan
globalisasi, terdapat beberapa posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu:
1. Para globalis percaya bahwa
globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap
bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa
negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi
global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat
sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.
2. Para globalis positif dan
optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa
globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung
jawab.
3. Para globalis pesimis berpendapat
bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya
adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah
bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar
dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang
globalisasi (antiglobalisasi).
4. Para tradisionalis tidak percaya
bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah
sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka
merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama
ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap
lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
5. Para transformasionalis berada di
antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh
globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka
juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini.
Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai
“seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah
kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung”. Mereka menyatakan
bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau,
setidaknya, dapat dikendalikan.
C.
Lingkar Sejarah
Globalisasi
Palmer menulis bahwa fenomena
globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Ia sama tuanya dengan sejarah yang
tercatat. Sekitar tahun 420 sebelum Masehi, ahli filosof Democritus dari
Abdera menulis, “bagi orang yang bijaksana seluruh ini terbuka, karena asal
jiwa yang baik adalah seluruh dunia.” Kalimat ini menandakan bahwa perdagangan
internasional dan globalisasi telah lama disetarakan dengan peradaban itu
sendiri. Dalam buku ini Palmer menggambarkan justru adanya globalisasilah yang
membuat globalisasi semakin beragam dan saling mengisi dengan lainnya. Teh
misalnya, suatu tanaman yang berasal dari Cina, namun berkembang dan menjadi
sebuah budaya di India akibat diperkenalkan pedagang Inggris. Bagi Palmer
mereka yang membela keotentikan budaya biasanya menganggap batas-batas budaya
identik dengan batas-batas territorial. Terkadang pula menjadi aneh, seolah
para pemuja keotentikan budaya ingin memelihara keterbelakangan dan kebodohan,
dengan mengatasnamakan “menjaga keaslian”.
Namun banyak sejarawan yang menyebut
globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan
bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam
hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila
ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal
perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang
dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat
(seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang.
Fase selanjutnya ditandai dengan
dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk
jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam,
Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia,
dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga
menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya
Arab ke warga dunia.
Fase selanjutnya ditandai dengan
eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis,
Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung
pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan
antarbangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar
perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu,
berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi
kebudayaan di dunia. Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan
baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia.
Di Indinesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa
membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika
Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa
contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi
hingga saat ini.
Fase selanjutnya terus berjalan dan
mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia
runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah
jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara
di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula
dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat
antarnegara pun mulai kabur.
·
Reaksi
Masyarakat Islam
Pada mulanya
agama-agama muncul dari unsur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai bagian ritus
transendental yang didominasi kekuatan mistis. Agama ini lahir dalam
bentuk-bentuk yang plural sesuai dengan corak ekonomi sosial tiap-tiap
masyarakat pada masanya. Meskipun tidak secara linier bentuk tersebut sesuai
dengan kondisi transformasi sosioekonominya, setidaknya fakta telah menunjukkan
bahwa agama pada era kini telah mengalami perubahan yang cukup signifikan
dibandingkan awal kemunculannya. Perubahan nonlinier ini kemudian membentuk
beragam kategori. Namun, secara general kualifikasinya hanya menjadi dua bentuk
paradigma yang sekarang ada dalam umat Islam. Perspektif ini hampir berlaku
pada setiap agama. Demikian pula dengan Islam yang berdiri di atas tiga
pilar doktrin dasarnya yaitu akidah, syariah dan akhlak.
Dari sudut
pandang itulah kemudian globalisasi dikritik dan digugat oleh paling tidak dua
arah. Pertama, sebagai sebuah ‘sistem’ dan tatanan, meskipun globalisasi
tak ada yang menciptakan karena menurut Oscar Lafontaine dalam Shaping
Globalization (1999) ia berjalan dengan sendirinya dan pasarlah yang
menghendakinya. Globalisasi dikritik dan digugat kekuatan sosial-demokrat,
‘kaum kiri’ yang lazimnya diwujudkan melalui gerakan-gerakan antiglobalisasi.
Kedua, globalisasi juga mendapat tantangan-tantangan dari agama-agama pada
umumnya, secara lebih khusus Islam, karena dianggap menjadi sebab-musabab
termarginalkannya peranan agama dan terkikisnya peranan etika-moral sosial.
Dalam
perkembangannya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di kalangan umatnya.
Sejalan dengan perubahan tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini ada
dua paradigma fundamental yang berkembang di kalangan terutama umat Islam dalam
menghadapi globalisasi yaitu :
a. Gerakan pro-globalisasi
Islam
diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan sebagai agen perubahan sosial.
Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini menjadi komponen yang diterima
bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap
persoalan kekinian yang dihadapi umat. Dalam dimensi teologi paradigma ini
mengedepankan aspek rasionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian
bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, melainkan sebagai pembimbing
tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma
kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus
menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Paradigma ini berpendirian bahwa
walaupun Islam memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama tapi harus
dilakukan banyak dekonstruksi terhadap pemahaman doktrin tersebut melalui
pengembangan wacana keilmuan yang dapat diperoleh pada sumber-sumber eksternal.
Berkebalikan
dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan, dimensi teologi yang
mereka ajukan justru menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai
ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Mereka
lebih menekankan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terkadang
melampaui garis-garis “larangan” demi mewujudkan teologis humanisnya. Dalam
dimensi syariat paradigma ini mengambil hukum-hukum melalui pemahaman yang
cenderung terlalu kontekstual, sehingga terkadang mengabaikan tekstualitas dan
latar belakang munculnya doktrin-doktrin agama. Mereka juga mengajukan berbagai
wacana tentang perlunya tafsir ulang terhadap al-Qur’an dan hadis. Paradigma
pemikiran yang cenderung sangat liberal ini sering diistilahkan dengan
paradigma liberal atau pro-globalisasi.
Pendukung
globalisasi (sering juga disebut dengan pro-globalisasi) menganggap bahwa
globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat
dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan
oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain
saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan salah
satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat
melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang
dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada produk kamera
digital (mampu mencetak lebih efesien dan bermutu tinggi) sementara Indonesia
memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya. Dengan teori ini, Jepang
dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan mengalihkan faktor-faktor
produksinya untuk memaksimalkan produksi kamera digital, lalu menutupi
kekurangan penawaran kain dengan membelinya dari Indonesia, begitu juga
sebaliknya.
Salah satu
penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah adanya larangan-larangan
dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu negara. Di satu sisi, kebijakan
ini dapat melindungi produksi dalam negeri, namun di sisi lain, hal ini akan
meningkatkan biaya produksi barang impor sehingga sulit menembus pasar negara
yang dituju. Para pro-globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan
tersebut, mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas sehingga
harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan meningkat. Karena
permintaan meningkat, kemakmuran akan meningkat dan begitu seterusnya.
b.
Gerakan anti
globalisasi
Antiglobalisasi adalah suatu istilah yang
umum digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan kelompok yang
menentang perjanjian dagang global dan lembaga-lembaga yang mengatur
perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO).“Antiglobalisasi” dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial,
sementara yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup
sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta
dipersatukan dalam perlawanan terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global
saat ini, yang menurut mereka mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh,
kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.
Namun, orang-orang yang dicap “antiglobalisasi” sering menolak istilah itu, dan
mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan
dari Semua Gerakan atau sejumlah istilah lainnya.
Bagi orang-orang berpaham konservatif
ini, “ketidakberubahan” (unchangingness) merupakan suatu hal yang ideal bagi
individu dan masyarakat serta merupakan suatu persepsi hakikat manusia dan
lingkungannya. “Ketidakberubahan” merupakan asumsi berpengaruh luas yang
mewarnai hampir seluruh aspek pemahaman kelompok ini. Nampaknya, apapun esensi
perdebatannya, yang ada di depan mata adalah berjalannya proses globalisasi di
hampir segala bidang tanpa bisa dihentikan.
c.
Paradigma
Alternatif
Untuk mengintegrasikan dua kubu gerakan
yang paradoks ini maka perlu kiranya dikembangkan satu paradigma alternatif,
yang mungkin dapat mengkompromikan dua pandangan di atas. Sebab dengan
mengkompromikan dua pandangan tersebut paling tidak kita berusaha menjembatani
adanya titik temu sebagai salah satu upaya mencari konsepsi final yang paling
ideal dalam Islam, meski memang untuk mengejawantahkannya dalam tataran
realitas bukanlah persoalan mudah. Paradigma alternatif yang coba penulis
tawarkan adalah paradigma moderat yakni paradigma yang cenderung mencoba mengintegrasikan
pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan Islam dan
persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan
Paradigma Konservatif yang seringkali melakukan generalisasi bahwa Islam selalu
mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah
kemasyarakatan. Serta berusaha mengakomodasi dilakukannya pembaruan wacana
sesuai dengan diinginkan kalangan liberal dengan tetap memperhatikan
nilai-nilai luhur dan keislaman.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Globalisasi merupakan suatu
realitas yang kita hadapi, disatu sisi mewujudkan dunia tanpa tapal batas
teritorial yang menggelar kehidupan universal saling terkait dan saling
mempengaruhi, disisilain ia membangkitkan, penggugah perlawanan dan penolakan
kultur.
Teori
globalisasi mengarah pada suatu perjanjian baru, negara-negara maju menciptakan
kondisi ekonomi dunia yang berjuang pada ketidakberdayaan negara berkembang.
Perintah menghapuskan subsidi sebagai kebutuhan rakyat adalah upaya negara
industri yang mengeruk keuntungan dari sistem perdagangan besar yang
diciptakannya.
Sejarah
globalisasi berasal dari perdagangan internasional antar bangsa di dunia,
karena tidak mungkin suatu negara bisa menjalankan semua aspek-aspek kehidupan
sendiri. Globalisasi juga berawal dari negara-negara adikuasa terhadap negara
ke tiga yang mendominasi.
B. Saran
Makalah ini di buat agar masyarakat siap menghadapi perkembangan
globalisasi dunia yang semakin pesat. Bila makalah ini tak sempurna maka kami
mohon kritik dan sarannya yang membangun untuk lebih baik lagi.
0 komentar:
Posting Komentar