Entah dari
mana asalnya sehingga muncul istilah baru, yaitu muslim keturunan dan muslim
pencarian. Muslim keturunan artinya seseorang yang sudah beragama islam sejak
lahir karena orang tua beragama islam. Adapun muslim pencarian adalah seseorang
yang sewaktu lahirnya tercantum di KK (Kartu Keluarga) tertulis non muslim,
setelah dewasa ia mencari jati diri dan keyakinan diri, lalu meyakini islam
sebagai agama yang benar kemudian ia pun masuk ke dalam agama islam.
“Sejak
kapan kita menjadi muslim ?” sebagian besar dari umat islam di indonesia
mungkin akan menjawab sejak masih di dalam kandungan atau sejak lahir. Sejak masih
dalam kandungan, orang tua kita biasanya mengadakan acara-acara keagamaan atau
ritual-ritual untuk menyambut sang bayi. Ritual-ritual yang sering dilakukan
adalah tujuh bulan, marhabanan, dan aqiqah. Sejak masih di dalam kandungan sang
ibu yang menganut agama islam selalu mengaji selama mengandung, melaksanakan
nujuh bulan dll. orang tua biasanya mengadakan acara-acara keagamaan untuk
menyambut kelahiran sang bayi. Dan ketika lahir, sang ayah membacakan syahadat
melalui adzan dan iqomat di telinga kanan dan kiri sang anak. Dan
selama itu juga kita pun menganut agama islam, sebab pada dasarnya manusia itu
dilahirkan dalam keadaan fitrah (islam). Sekalipun dalam acara-acara
keagamaan tersebut atau ritual-ritual tersebut masih terlihat adanya campuran
budaya lokal dengan islam. Jika melihat dari proses tersebut, sesungguhnya kita
tidak diberikan pilihan untuk berislam atau memilih yang lain. Keagamaan yang
diberikan dari sebelum lahir sampai dewasa kepada kita hanya satu agama yaitu
Islam. Sehingga kita, umat Islam, mau tidak mau berislam tanpa tahu mengapa
harus Islam. Sehingga kita mengenal istilah “Islam turunan” atau “Islam KTP”
yaitu berislam tanpa mengerti dan menjalankan agama yang dianutnya.
Jadi di
Indonesia berislam terkesan umumnya hanya menjadi identitas kultural bukan
kesadaran spiritualitasnya. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa agama memang
memiliki hubungan dengan kebudayaan. Bila dilihat kaitan islam dengan budaya,
paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas : Islam sebagai konsespsi sosial
budaya, dan islam sebagai realitas budaya.
Islam
sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar),
sedangkan islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (trdisi lokal).
Tradisi
besar dalam islam adalah berupa doktrin-doktrin original islam yang tetap atau
setidaknya merupakan interpretasi yang
melekat pada ajaran dasar. Dalam ruang kecil, doktrin ini tercakup dalam
konsepsi keimanan dan syariah hukum islam.
Sedangkan tradisi
kecil (tradisi lokal) adalah realm of influence atau kawasan-kawasan yang
berada di bawah pengaruh islam (great tradition). Tradisi lokal ini mencakup
unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep
atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang
dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah
lain proses akulturasi antara islam dan budaya lokal ini kemudian melahirkan
apa yang dikenal dengan loal genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan
seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asingg, sehingga
dapat dicapai sutu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangs
yang membawa pengaruh budayanya.
Pada sisi
lain lokal genius memiliki karateristik antara lain adalah.
1.
Mampu
bertahan terhadap budaya luar
2.
Mempunyai
kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3.
Mempunyai
kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli.
4.
Dan
memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya
selanjutnya.
Sebagai
suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat indonesia, ajaran
islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah islam sebagai
agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat di Indonesia. Disisi lain
budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan
kehadiran islam. Karena awalnya agama di indonesia yaitu animisme, dinamisme,
toteisme, dll. Dan budaya-budaya lokal ini sebagian terus berkembang dengan
mendapat warna-warna islam.
Perkembangan
ini melahirkan “akulturasi budaya” antara budaya lokal dan islam. Budaya-budaya
lokal yang kemudian berakulturasi dengan islam salah satunya yang berhubungan
dengan kelahiran anak dan proses mengislamkan anak, yaitu acara Tingkeban (nujuh hari), memperingati
kelahiran bayi ke-4 hari (cukuran) dll, yang itu semua hingga kini tidak pernah
hilang di kalangan masyarakat indonesia khususnya masyarakat islam sunda dan
jawa.
Hal itu
diperkuat dengan pendapat Nurcholish Majid, ia menjelaskan hubungan agama
dengan budaya, menurutnya, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat
dibedakan tetapi tidak dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena
perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama,
dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar
budaya didasarkan pada agama ; tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena
itu, agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. 1
Maka dari
itu pertumbuhan manusia yang dibarengi dengan pertumbuhan pemikirannya
sesungguhnya mempunyai potensi untuk memikirkan kembali keislamannya yang
merupakan “warisan” dari orang tuanya.
1Hakim Atang ABD, Metodologi Studi
Islam, hlm. 34
Menggali kembali kesaksian kepada
adanya Allah dan Nabi Muhammad utusan-Nya yang dibisikan dengan kalimat syahadat
ketika lahir. Berusaha menemukan kesadaran keberagamaan dengan hati dan
pikirannya.
Warisan
keislaman yang telah diberikan oleh orang tua kita sesungguhnya adalah sebuah
anugrah yang indah. Menjadikan anugrah itu lebih bermanfaat bagi diri dan orang
lain menjadi tugas diri kita masing-masing dengan menumbuhkan kesadaran diri
tentang keberislaman itu. Menjalankan dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan sehari-hari adalah salah satu bentuk nyata keislaman kita.